Jumat, 28 Januari 2011

Wi-Max VS 3G

Walaupun pasar dari broadband data agak mengalami kemunduran pada beberapa decade yang lalu, penurunan dari pendapatan rata-rata untuk tiap user membuat penyedia layanan broadband beralih ke wireless broadband data untuk meningkatkan penghasilanya. Sementara pertumbuhan aplikasi low bandwidth seperti mendownload ringtones dan sms berkembang dengan pesat, perkembangan aplikasi broadband data seperti email dan download/upload file dengan menggunakan laptop atau PDA justru lambat. Yang menjadi hambatan utama dari portable broadband service ini adalah biaya dalam penyelenggaraan layanan, rendahnya kecepatan yang ditawarkan dan coverage yang tidak menentu.
Pada awalnya, teknologi wide area network (WAN) seperti general packet radio service (GPRS) hanya menawarkan kecepatan 10 Kbps, hal ini tentu saja belum memuaskan user. Pada tahun 2003, penyedia layanan (carriers) menerapkan teknologi Enhanced Data rates for Global Evolution (EDGE) yang mampu mencapai kisaran kecepatan rata-rata 100 – 130 Kbps dengan kecepatan maksimum mencapai 200 Kbps. Kemudian dilanjutkan dengan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) seperti 1XEvDO, yang mampu menghasilkan kecepatan rata-rata dengan kisaran 300-400 Kbps dan kecepatan maksimum mencapai 700 Kbps yang diikuti kemunculan teknologi EVDV yang memiliki kecepatan melebihi 1xEvDO
Dari research yang dilakukan oleh In Stat/MDR, menunjukan bahwa laptop computer akan menjadi perangkat yang akan digunakan untuk mengakses layanan broadband wireless data. Aplikasi yang bersifat personal seperti email, address book, calendars, dan internet browser, akan menjadi aplikasi yang sangat dibutuhkan.
Sementara banyaknya service provider dan operator yang bias dikatakan lebih familiar dengan teknologi wireless sebelumnya atau dikenal juga dengan sebutan layanan komunikasi wireless 2.5G, mereka sekarang dikenalkan dengan teknologi yang lebih baru atau layanan komunikasi wireless generasi ke 3 yang biasa disebut 3G, seperti teknologi UMTS dan HSDPA. Dan juga dengan kemunculan teknologi lainya seperti WiMax (IEEE 802.16e) yang menawarkan peningkatan yang sangat berarti pada data rate dan spectral efficiency. Pembahasan pada tulisan ini akan lebih focus pada perbedaan teknis antara teknologi-teknologi yang disebutkan diatas dengan membandingkan perbedaan yang muncul pada teknik modulasi yang digunakan, yakni CDMA dan OFDMA.

Overview Teknologi Wireless
1.      WCDMA
Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) menggunakan Direct Sequence Spread Spectrum (DSSS) untuk menyebarkan sinyal pada rentang spectrum 5 MHz. WCDMA berdasarkan standarisasi 3GPP Release 99, dan mampu menghasilkan kecepatan data sekitar 384 Kbps untuk wide area converge dan mencapai 2 Mbps pada area hot spot. Menggunakan orthogonal spreading codes dan menerapkan teknik  Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) sebagai teknik modulasi yang digunakan.
2.      High Speed Downlink Packet Access (HSDPA)
WCDMA 3GPP release 5 memperluas spesifikasi WCDMA dengan HSDPA. HSDPA menambahkan beberapa kanal transport, high speed downlink shared channel (HS DSCH), yang melakukan optimasi pada data yang di shared. HSDPA juga menawarkan teknik modulasi yang lebih baik dibandingkan WCDMA sebelumnya yakni Quadrature Amplitude Modulation (QAM), transmission time interval (TTI) yang lebih pendek, adaptasi link yang lebih cepat, scheduling lebih cepat, dan hybrid automatic repeat request (ARQ) yang lebih cepat.
3.      WiMax (IEEE 802.16e)
Standar IEEE 802.16e merupakan versi portable dari WiMax yang memanfaatkan Orthogonal Frequency Multiplexing Access (OFDM/OFDMA) dimana spectrum frekuensi terbagi menjadi beberapa sub carriers. Masing masing sub carriers kemudian menggunakan QPSK atau QAM untuk moadulasinya.
Dampak keadaan lingkungan pada komunikasi wireless
Sementara semua teknologi yang telah disebutkan diatas tadi mempertinggi tingkat efisiensi dari lebar spectral yang digunakan, masing-masing dari teknologi-teknologi tersebut juga memiliki  keunggulan dan kelemahan yang inheren (melekat pada masing-masing teknologi) hal ini disebabkan oleh keadaan lingkungan (wireless environment) yang tidak dapat diprediksi. Keadaan lingkungan akan memberikan tantangan yang signifikan terhadap system wireless yang beroperasi pada lingkungan tersebut, hal ini meliputi attenuasi, multipath interference dan cell planning, disamping kompleksitas pelanggan, dan perencanaan cell juga termasuk hal yang penting untuk dipertimbangkan. Berikut ini akan dipaparkan perbandingan dari dampak yang disebabkan oleh lingkungan (wireless environment) terhadap system berbasis CDMA dan system berbasis OFDMA.
Attenuasi
            Attenuasi merupakan penurunan dari nilai daya sinyal yang diterima disisi receiver. Hal ini dapat di sebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah panjang jalur transmisi yang digunakan, obstruction (halangan) yang terdapat di sepanjang jalur transmisi, dan efek dari multipath. Walaupun sebuah gelombang RF berpropagasi pada medium udara, tetap saja sebahagian dari daya akan diserap oleh lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya attenuasi. Dan walaupun gelombang RF dapat melakukan penetrasi terhadap obstruction (halangan) seperti dinding (tidak seperti gelombang cahaya) attenuasi akan tetap terjadi karena sebahagian dari daya gelombang RF akan tetap terserap. Hal ini biasa dikenal dengan istilah shadowing dan akan sangat terasa pada daerah metropolitan, disebabkan oleh keberadaan gedung-gedung yang tinggi, bukit-bukit, pepohonan dan sebagainya. Sebahagian dari sinyal dapat saja mengalami pelenturan (diffracted) dalam hal ini, sehingga sinyal pada bahagian pinggir dari obstruction mengalami pembelokan. Pada gambar 2 terlihat peningkatan jarak tempuh sebuah gelombang akan berakibat peningkatan nilai attenuasi yang signifikan.
 Gambar 2. Redaman yang terjadi pada medium udara bebas.
Pada tabel 1 menunjukan dampak dari perbedaan keadaan lingkungan (wireless environment) relatif terhadap daya sinyal yang diterima.
Tabel 1. Attenuasi pada Wireless Environment.

Attenuasi pada teknologi WiMax berdampak pada coverage area
            Mempertimbangkan penggunaan frekuensi operasi yang digunakan pada sebuah jaringan merupakan hal yang penting dan dapat berperan sebagai penentu dari attenuasi yang akan muncul. Penggunaan frekuensi operasi yang lebih tinggi akan berdampak pada nilai attenuasi yang semakin tinggi pula. Hal ini erdasarkan percobaan yang telah dilakukan dengan membandingkan ISM (bekerja pada frekuensi 2.4 Ghz) dan UNII (bekerja pada frekuensi 5.8 Ghz), perbandingan ISM dan UNII di representasikan dengan jelas pada tabel 2 dan gambar 3.
Gambar 3. 

Tabel 2. Menunjukan perbandingan attenuasi antara ISM dan UNII.
Terlihat selisih attenuasi yang terjadi pada lingkungan udara bebas dengan panjang jalur transmisi satu meter, adalah 6.9 dB dimana ISM menghasilkan attenuasi yang lebih rendah dibandingkan UNII. Selanjutnya selisih attenuasi menjadi 9.4 dB pada daerah non line of sight (NLOS) untuk panjang jalur transmisi yang sama.
Karena WiMax merupakan sistem yang bekerja pada frekuensi 2.5 Ghz, 3.5 Ghz, dan 5.8 Ghz, maka hal ini akan berdampak pada kebutuhan terhadap jumlah cell yang relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan teknologi 3G yang bekerja pada frekuensi lebih rendah yaitu dibawah 2 Ghz. Hal ini disebabkan karena frekuensi kerja WiMax yang lebih tinggi dibandingkan dengan 3G. penggunaan frekuensi tinggi berdampak pada attenuasi yang tinggi, dan attenuasi yang tinggi tentu saja akan membatasi coverage area. Dampak ini akan sangat dirasakan pada sisi operator yang melakukan perencanaan jaringan pada unlicensed spectrum 5.8 Ghz. Namun, bagaimanapun juga biaya yang berkaitan dengan licensed spectrum yang digunakan pada 3G jika dibandingkan dengan penggunaan unlicensed spectrum pada Wi Max, akan dapat mengimbangi biaya untuk penambahan cell.
Interferensi yang terjadi akibat keadaan multipath
            Multipath interference muncul ketika beberapa sinyal yang mengalamai pemantulan sampai di sisi wireless receiver. Ketika pengguna layanan wireless berada di dalam ruangan (indoor), maka kondisi ini dikatakan non line of sight (NLOS), yaitu tidak terjadi kontak secara langsung antara perangkat pengguna dengan transceiver dari sistem wireless. Melainkan terdapat hambatan-hambatan berupa bangunan, dinding, pohon, bukit, dan objek-objek solid lainya diantara keduanya. Hambatan-hambatan inilah yang mengakibatkan sinyal yang di transmisikan dari perangkat pengguna ke tranceiver atau sebaliknya mengalami pemantulan. Karena masing-masing sinyal yang di transmisikan mengalami pemantulan oleh objek yang berbeda-beda, yang akan mengimbas pada jarak yang ditempuh oleh masing-masing sinyal pun berbeda-beda, maka hal ini menyebabkan adanya sinyal informasi yang sampai lebih dulu dan ada yang sampai kemudian atau dapat dikatakan terjadi selisih phasa yang bersifat random (acak) pada masing-masing sinyal.
            Pada tahap selanjutnya sinyal yang di transmisikan akan mengalami fading dengan terjadinya interferensi yang bersifat destruktif maupun konstruktif, interferensi ini terjadi sebagai akibat dari dua sinyal atau lebih yang saling melingkupi (superimposed). Interferensi ini biasa disebut Inter Symbol Interference (ISI). Tingkat fading yang terjadi pada sinyal yang ditransmisikan akan bergantung pada delay spread pada kanal serta daya masing-masing sinyal (daya masing-masing sinyal pada kondisi multipath bervariasi hal ini disebabkan oleh attenuasi yang terjadi diakibatkan oleh objek-objek penghalang). 
Gambar 4. Kondisi multipath
            Teknologi yang menggunakan DSSS (802.11b, CDMA) dan teknologi pita lebar lainya sangat rentan terhadap terjadinya multipath fading, karena durasi delay yang muncul melebihi durasi symbol yang ditransmisikan. Hal ini akan menyebabkan antara satu symbol dan symbol lainya saling overlap (berdempetan) sehingga terjadilah ISI.
            Penggunaan beberapa sinyal carrier pada OFDM mampu memperpanjang durasi dari symbol sehingga hal ini akan membuat sinyal lebih tahan terhadap delay spread sehingga kemungkinan terjadinya ISI akan lebih kecil. Sebagai contoh dari masalah ini adalah, misalkan kita merancang sebuah sistem komunikasi wireless dengan kecepatan 1000 bps. Jika dilakukan transmisi serial dengan memanfaatkan carrier tunggal, ini berarti 1 bit hanya memiliki durasi 1/1000 second. Apabila di perjalanan muncul delay yang durasinya lebih besar atau lebih dari 1/1000 second, Maka symbol yang ter delay akan overlap dengan symbol sebelumnya. Hal ini tentu saja akan menimbulkan ISI. Namun jika digunakan transmisi paralel dengan memanfaatkan sinyal carrier jamak sebanyak 1000 subcarrier, maka dengan kecepatan yang sama yaitu 1000 bps, 1 bit akan memiliki durasi yang lebih panjang yaitu 1 second. Ini berarti kemunculan delay berdurasi 1/1000 hanya akan berdampak overlap yang terjadi pada sebahagian symbol (tidak keseluruhan seperti pada penggunaan transmisi serial) yaitu pada rentang interval 1/1000 second saja. Ini bukanlah masalah yang serius karena bisa ditanggulang dengan penambahan guard interval yang terlebih dahulu direncanakan sebelum transmisi dilakukan. Sehingga ISI akan dengan mudah teratasi.
Frekuensi selektif fading
            Frekuensi selektif fading merupakan jenis dari fading yang terjadi pada nilai frekuensi tertentu. Ketika sebuah sinyal mengalami pemantulan akibat membentur sebuah permukaan solid, masing masing dari frekuensi yang berbeda pada sinyal tersebut akan terpantulkan juga dengan jalur yang berbeda-beda. Pada gambar 5. Dapat dilihat frekuensi selektif fading yang terjadi pada CDMA (kiri) dan OFDMA (kanan). Pada OFDMA, dengan pengoptimalan dalam pengkodean kanal dan interleaving, error yang terjadi dapat dikoreksi (BER tidak meningkat). Sedangkan pada CDMA yang menyebarkan sinyal dengan seragam pada rentang frekuensi tertentu, terjadi error yang cukup serius sehingga BER akan meningkat). Sehingga dapat disimpulkan bahwa OFDMA lebh baik dalam menanggulangi frekuensi selektif fading jika dibandingkan dengan CDMA.
Gambar 5. Frekuensi selektif fading CDMA vs OFDMA.
Frekuensi Offset
            Pada komunikasi yang bersifat mobile, receiver kemungkinan besar bergerak relatif terhadap source ( misalnya perangkat telephone genggam senantiasa dalam keadaan bergerak relatif terhadap tranceiver atau BTS pada GSM ). Apabila antara receiver dan source bergerak saling mendekat maka frekuensi akan semakin tinggi dan sebaliknya apabila bergerak saling menjauh maka frekuensi akan semakin rendah. Hal ini dikenal dengan Doppler shift yang akan berdampak pada transmisi, yaitu sensitif terhadap frekuensi carrier yang digunakan pada OFDMA.
            Jika tadi disebutkan bahwa CDMA rentan terhadap ISI (Inter Symbol Interference), OFDMA justru rentan terhadap terjadinya frekuensi offset. Dampak dari frekuensi offset pada OFDMA menyebabkan sub carrier yang tadinya saling orthogonal, karena terjadinya pergeseran frekuensi diakibatkan gejala doppler shift, menjadi tidak orthogonal lagi. Sehingga  munculah ICI (Inter Carrier Interference). Namun hal ini masih dapaat diatasi dengan penambahan guard bands diantara frekuensi sub carrier yang berdekatan. Penambahan guard bands ini memungkinkan melakukan kalibasi secara dinamis untuk mendapatkan frekuensi yang tepat.
Impulse Noise Rejection
            Karena symbol pada OFDMA memiliki durasi yang lebih panjang dibandingkan dengan CDMA, munculnya impulse noise tidak akan menyebabkan peningkatan pada error rate. Sedangkan pada CDMA, sebahagian dari symbol dari CDMA akan hilang, hal ini tentu saja akan mengacu pada peningkatan error rate.
Adaptive Moadulation and Coding (AMC)
            Baik teknologi W-CDMA (HSDPA) maupun OFDM menggunakan Quadrature Phase Shift Keying (QPSK) dan Quadrature Amplitude Modulation (QAM) pada teknik modulasinya. Namun perlu diketahui bahwa pada HSDPA, Adaptive Modulation and Coding (AMC) hanya digunakan pada downlinknya saja sementara untuk uplink masih berdasarkan pada standar dari WCDMA 3GPP release 99, dimana hanya menggunakan teknik modulasi QPSK (tidak menggunakan QAM). Prinsip dari AMC adalah melakukan perubahan terhadap teknik modulasi dan coding sesuai dengan kondisi kanal untuk mencapai throughput yang baik. Penggunaan teknik modulasi yang menghasilkan throughput yang tinggi akan membutuhkan kondisi kanal yang baik (i.e. signal to noise ratio atau SNR). Pada gambar 6 terlihat bahwa tekinik modulasi dengan throughput yang tinggi seperti QAM 64 digunakan pada daerah yang lebih dekat dengan base station, karena semakin dekat dengan source SNR akan semakin baik. Tentu saja hal ini akan mengacu pada kondisi kanal yang baik pula. Sementara teknik modulasi yang menghasilkan throughput yang lebih rendah seperti QPSK, digunakan pada daerah yang lebih jauh dari base stasion, karena kondisi kanal yang semakin buruk apabila berada di tempat yang jauh dari source. Hal ini ditandai dengan semakin buruknya kualitas SNR.
Gambar 6. Adaptive Modulation and Coding
            Berdasarkan pengujian performansi dari kedua teknologi ini yang diadakan oleh sala satu dari 3GPP working group, menunjukan bahwa OFDM mampu menghasilkan throughput maksimum 9.6 Mbps (16 QAM) sedangkan WCDMA hanya mampu menghasilkan throughput dibawah 3 Mbps. Dari hasil ini tampak bahwa perbedaan yang kontras timbul pada saat penggunaan tingkat modulasi dan coding yang lebih tinggi untuk menghasilkan throughput lebih baik pada OFDM.
Tabel 3 menunjukan perbandingan tingkat performansi sistem yang dihasilkan pada CDMA (HSDPA) dan OFDM. Walaupun dengan penggunaan receiver yang lebih advance (MMSE), OFDM tetap saja bekerja lebih baik daripada CDMA. Hasil-hasil ini ditemukan dengan menggunakan buku teks OFDM yang masih menggunakan teknik modulasi hingga 16QAM. Sedangkan jika menggunakan OFDM dan teknik modulasi yang lebih maju (seperti yang termasuk dalam 802.16e), akan terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan hasil yang dipaparkan diatas. WiMAX (802.16e) pada keyataanya dapat saja mendukung penggunaan tingkat modulasi yang lebih tinggi dari 64 QAM.
Tabel 3.

Dari pemaparan diatas tampak bahwa walaupun baik OFDM maupun HSDPA sama-sama menawarkan throughput yang tinggi namun OFDM mampu menghasilkan range yang lebih luas untuk terjadinya throughput yang tinggi dibandingkan HSDPA. Pada HSDPA throughput yang tinggi (64 QAM) hanya dapat dirasakan pada areal hot spot) saja.
Coding dan Forward Error Correction (FEC).
            Pengendalian kesalahan pada pengkodean dapat membantu dalam mengatasi terjadinya bit error. Tingkat kecepatan dalam pengkodean dapat secara lansung berdampak pada penggunaan bandwidth dah hal ini dapat berubah secara dinamis sesuai dengan kondisi kanal.
            CDMA menggunakan pengkodean konvolusional dengan k=9 untuk meningkatkan ketahanan sistem dari efek multipath. Sementara OFDMA menggunakan pengkodean konvolusional dengan k=8. Namun pada OFDMA pengkodean dan interleaving dilakukan pada tiap sub carrier, sehingga sub carrier yang lebih kuat dapat menolong subcarrier yang lemah.